Patofisiologi Asites :Mekanisme, Gejala dan Pengobatan

patofisiologi asites

Asites adalah kondisi penumpukan cairan patologis di cavum abdominal baik karena  penyakit yang mendasari maupun tidak. Patofisiologi asites didasarkan pada mekanisme patologis bagaimana dapat terjadi menumpukan cairan di cavum abdomen. Secara fisiaologis, seseorang hanya memiliki cairan intraperitoneal sedikit atau tidak memiliki sama sekali, dan wanita secara normal memiliki sekitar 20 mL cairan tergantung siklus  fase menstruasi yang dialaminya.

Terdapat beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya asites ini, seperti sirosis hepatis, hepatitis B, hepatitis C dan gagal jantung kongestif. Asites dengan sirosis memiliki mortalitas 50% pada penderita yang terkena selama setidaknya 3 tahun.

Bacaan Lainnya

Bagaimana Patofisiologi Asites?

Adanya akumulasi cairan asites menunjukkan kondisi total natrium dan air di tubuh berlebih, tetapi faktor dan penyebab yang mendasari ketidak seimbangan ini belum diketahui. Meskipun banyak proses patogenesis  yang telah menunjukkan terjadinya asites pada abdomen, tetapi sekitar 75% kasus disebabkan hipertensi portal pada sirosis hpatis dengan fase infektif, inflamasi dan infiltratif.

Terdapat 3 teori tentang terbentuknya asites ini, seperti : underfilling, overflow dan vasodilatasi arteri perifer.

  1. Teori underfiling, menunjukkan bahwa abnormalitas primer berkaitan dengan sequestrasi cairan pada pembuluh splangnic, yang memicu hipertensi portal dan konsekuensinya, menurunkan efektifitas volume darah yang bersirkulasi. Kondisi ini mengaktifasi renin plasma, aldosteron, nervus simpatis yang memicu retensi natrium dan air di ginjal.
  2. Teori Overflow, pada terodi ini abdnormalitas primer disebabkan gangguan retensi ginjal terhadap natrium dan air akibat tidak adanya deplesi volume. Teori ini berkembang berdasarkan observvasi pasien sirosis yang terjadi hipervolumia intravaskuler tibanding hipovolumia.
  3. Teori yang sekarang digunakan adalah adanya hipotesa vasodilatasi arteri perifer. Adanya hipertensi portal memicu vasodilatasi yang menyebabkan penurunan efektifitas volume darah arteri. Eksitasi neurohormonal meningkat, retensi natrium ginjal meningkat dan volume plasma terekspansi. Kondisi ini akan memicu overflow cairan ke cavum peritoneal abdomen. Teori vasodilatasi ini, juga menunjukkan bahwa undefiling adalah fase awal dan overflo adalah fase akhir pada sirosis.
Baca Juga:  Penyakit Von Willebrand : Jenis, Penyebab, Gejala dan Pengobatan

Meskipun urutan kejadian antara perkembangan hipertensi portal dan retensi natrium ginjal belum diketahui lebih detile mana yang lebih dahulu, tetapi fakta menunjukkan bahwa hipertensi portal akan meningkatkan kadar nitrit oksida.

Nitrik oksida akan memediasi vasodilatasi perifer dan vasodilatasi splancnic. Aktifitas nitrit oksida sintasedi arteri hepatal lebih besar pada pasien dengan asites dibandingkan pasien tanpa asites. Banyak faktor yang berkontribusi terhadap akumulasi cairan di cavitas abdomen ini.

Peningkatan kadarepinefrin dan norepinefrin adalah faktor yang telah ditemukan. Hipoalbuminemia dan  penurunan tekanan okontik memicu ekstravasasi cairan plasma ke peritoneal. Dan ini sering ditemukan pada pasien asites baik dengan hipertensi portal maupun hipoalbuminemia.

Bagaimana Tanda dan Gejala  Asites?

Pasien dengan asites biasanya ditemukan dengan peningkatan ukuran abdomen. Karena seringnya disertai penyakit hepar, maka asites sering ditemukan pada : penggunaan alkohol lama, sedang infeksi hepatitis dan jaundice, penggunaan obat-obatan, partner seksual ganda, homoseksual, dan tinggal diarea endemis hepatitis.

Pada pemeriksaan fisik, asites berfokus pada tanda hipertensi portal dan penyakit sirosis hepar. Pemeriksaan fisik ditemukan jaundice, eritem palmar dan angioma pembuluh darah (spider nevi).

Hepar mungkin sulit dipalpasi jika asites muncul, tetapi jika dapat dipalpasi maka hepar sering membesar juga. Tandan Puddle, dapat muncul ketika cairan muncul setidaknya 120 mL. Ketika cairan peritoneal lebih dari 500 mL, asites dapat dideteksi dengan shifting dullnes.

Peningkatan tekanan vena jugular mengindikasikan keterlibatan jantung pada asites. Nodul tajam di umbilikus atau nodul Sister Mary Joseph, jarang terjadi tetapi jika ada mengindikasikan carcinomatosis dari lambung, pankreas dan hepar yang mengindikasikan keganasan.

Nodus virchow atau nodus patologis supraclavicular sisi kiri menunjukkan adanya malignansi pada abdomen atas. Pasien dengan penyakit jantung dan sindrom nefrotik dapat muncul edema anasarka.

Baca Juga:  Grave’s Disease (Struma Difus Toksik)

Bagaimana Pengobatan Asites?

Retriksi natrium 20-30 mEq/hari dan pengobatan diuretik dapat digunakan dan terbukti efektif pada 95% kasus.retriksi cairan digunakan jika terjadi hiponatremia.

Penelitian sekarang menunjukan vasopresin V2-reseptor antagonis dapat memicu eksresi elektrolit dan air yang berguna pada pasien asites dan hiponatremia. Penelitian ini masih dikembangkan, tetapi FDA tetap memperhitungkan dan menunjau untuk menyetujui pengobatan ini.

Terapi parasentesis dilakukan pada pasien dengan gejala refraktori. Ketika cairan asites diambil, maka cairan salin digunakan sebagai plasma ekspander. Pengambilan 5 liter cairan atau lebih dapat digunakan dengan parasintesis ini. Parasentesis total adalah pengambilan semua asites dan dapat dilakukan secara aman seringnya lebih dari 20 liter.

Untuk menghindari terpapar darah, penggunaan terlipressin 1 mg setiap 4 jam selama 48 jam lebih baik dari albumin untuk mencegah disfungsi sirkuler setelah parasentesis dalam jumlah besar.

Pembuatan TIPS (transjugular intrahepatik portosistemik shunt) adalah intervensi radiologis yang dapat menurunkan tekanan portal dan sebagai pengobatan efektif pada pasien resisten diuretik. Pada prosedur ini, dilakukan pada pasien general anestesia dan sedasi, dan stent dipasang perkutaneus dari vena jugularis kanan ke vena hepatika. TIPS ini menjadi standard pengobatan pada pasien refraktori diuretik asites.

Demikian, penjelasan singkat terkait asites. Semoga bermanfaat, salam DokterMuslim.com

Oleh: dr. M. Wiwid Santiko
Yogyakarta, 20 Juni 2017

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *