Perbedaan Impetigo Bulosa dan Krustosa [Lengkap]

impetigo bulosa dan krustosa

Impetigo adalah penyakit infeksi bakteri yang sering ditemukan pada anak-anak. Jenisnya Impetigo Bulosa dan Krustosa. Kejadiannya 70% impetigo krustosa, dan 30% bulosa. Infeksi ini menyerang lapisan supefisial dari epidermis dan disebabkan oleh streptococcus pyogen atau staphylococcus aureus. Infeksi sekunder seperti abrasi, chicken pox, gigitan serangga juga dapat terjadi.

Impetigo krustosa disebabkan oleh S. aureus, dan grup A beta hemolitik streptokukus (disebut juga GABHS-s.pyogen) atau kombinasi keduanya. Infeksi awal biasanya dari streptokokus, baru diikuti staphylokokus.

Bacaan Lainnya

Impetigo bulosa disebabkan oleh s. aureus, dan memunyai tokin yang memicu eritroderma pada lapisan epidermis dan menghasilkan kerusakan di kulit. Ektima adalah ulkus dalam, karena infeksi disertai limfadentitis yang merupakan komplikasi dari impetigo.

Impetigo juga dapat muncul folikulitis, yakni terjadi infeksi pada folikel rambut karena s. aureus. Infeksi kronis folikulitis disebut juga sikosis barbae dimana terdapat skar dan lupus discoid. Penegakkan diagnosis impetigo didasarkan anamnesis dan manifestasi klinis. Pemberian terapi topical, meliputi area luka, berupa antibiotik.

Apa Penyebab Impetigo Bulosa dan Krustosa?

Secara umum, impetigo disebabkan oleh infeksi bakteri. Kedua bakteri S. aureus dan GABHS menyebabkan impetigo krustosa, tetapi 80% kasus  disebabkan GABHS sedangkan 10% lainnya disebabkan S. aureus, dan 10%nya disebabkan keduanya.

a. Impetigo Krustosa

impetigo krustosa disebabkan GABHS tipe 49, 52, 53, 55-57, 59 dan 61 dan juga oleh s. aureus pada 20-45% kasus. S. aureus mengeluarkan toksin. Streptocokus grup B, C dan G sangat jarang menyebabkan impetigo krustosa, sedangkan Grup B streptokokus yang sering menjadi penyebab impetigo pada bayi baru lahir.

b. Impetigo Bulosa

Impetigo Bulosa sering disebabkan oleh S. aureus tipe 71. Bakteri ini dapat mengeluarkan eksfoliatif toksin yang dapat merusak lapisan subkorneal epidermis dan dapat menimbulkan penyakit SSSS (S4)-staphylokokal scalded skin syndrome.

Baca Juga:  Antraks Kutaneus : Gejala, Penularan dan Pengobatan [Lengkap]

Terdapat faktor risiko infeksi didapat dari rumah sakit, yakni: seseorang bekerja di pusat kesehatan, pernah dirawat dirumah sakit 1 tahun terakhir, tinggal lama dirumah sakit, dan memiliki riwayat penggunaan obat serta indwelling kateter yang lama. Selain dari Rumah sakit, infeksi juga didapat dari komunitas yang kita sebut dengan Community-accuired MRSA.

Bagaimana Patofisiologi Impetigo Bulosa dan Krustosa?

Adanya kontak dengan kulit biasanya menyebabkan kolonisasi dari bakteri ini. Bakteri ini membutuhkan reseptor, fibronektin untuk kolonisasi. Reseptor fibronektin tidak terdapat pada kulit yang sehat. Ketika kulit mengalami kerusakan, maka reseptor fibronektin akan membuka dan tampak, sehingga membuat invasi serta kolonisasi bakteri.

Faktor yang dapat mempengaruhi kolonisasi ini adalah suhu tinggi, kelembaban, usia muda dan penggunaan antibiotik. Adanya imunitas tubuh yang menurun seperti pada penyakit HIV, DM, penggunaan steroid, retinoid akan memicu tumbuhnya bakteri.

Kuman GABHS dapat ditemukan di hidung, tenggorokan setelah 2-3 minggu lesi berkembang, meskipun tidak ditemukan gejala faringitis. Ini karena impetigo dan faringitis disebabkan bakteri yang berbeda strainnya. Impetigo disebabkan strain D, sedangkan faringitis disebabkan Strain A, B dan C.

Bakteri S. aureus, akan kolonisasi di hidung dan bibir. Bakteri dapat menyebar dari hidung ke kulit sehat dalam 7-14 hari sehingga lesi ini baru kelihatan terutama setelah 14 hari. Sektar 10% individu, kolonisasi s. aureus terjadi di perineum, dan jarang di ketiak, faring dan tangan.

Bagaimana dengan Impetigo Bulosa Sendiri?

Impetigo bulosa sendiri sering dipengaruhi eksfoliatif toksin dari bakteri s. aureus terutama eksfoliatif A dan B. Toksin ini menyebabkan ketidakmampuan sel untuk melekat (adesi) di lapisan superfisial dermis, sehingga memicu munculnya blister (ruam dengan isi bening) dengan dasar bergaung kecil.

Baca Juga:  Alergi Susu Kedelai : Gejala, Pemeriksaan dan Pengobatan

Apa saja Tanda dan Gejalanya?

A. Impetigo Krustosa

Impetigo krustosa dimulai dengan makul eritem tunggal yang dapat berkembang menjadi vesikel dan pustule serta mudah pecah, mengeluarkan isi serosa kemudian mongering dan membentuk krustosa, eksudan seperti madu (honey-colored eksudat) pada sekitar lesi.

Lokasi tersering wajah dan ekstremitas. Lesi biasanya asimtomatis dengan gejala pruritus. Limfadenopati regional sering muncul. Biasanya penderita mempunyai riwayat seperti trauma minor, tergigit serangga, infeksi scabies, herpes simpleks, varisela dan dermatitis.

Lesi multipel terjadi pada sisi yang sama, dan menyebar ke tepi. Tidak ditemukan edema dan eritem. Pasien tidak disertai faringitis tetapi limfadenopati sering muncul pada 90% penderita.

b. Impetigo Bulosa

Impetigo Bulosa biasanya lesinya kecil hingga besar, superfisial, bula yang mudah pecah. Lesi sering muncul di badan, wahah, ekstremitas, pantat dan region perineal. Lingkungan dengan kelembaban panas, berkeringat, kumuh, padat, dan higenitas buruk menjadi faktor risiko infeksi ini.

Terdapat beberapa gejala yang dapat ditemukan pada impetigo bulosa dan tidak terdapat pada impetigo krustosa:

  1. demam
  2. diare
  3. Kelemahan menyeluruh anggota tubuh

Infeksi ini sering muncul pada anak-anak dan dewasa. Bula biasanya berukuran 3 cm dan mudah pecah. Bula awalnya bening, dengan cairan kekuningan, keruh dan kehitam-kekuningan. Bula mudah pecah dalam 1-3 hari. Bula, dapat terjadi pada kulit intertriginosa, seperti leher, ketuak dan lipatan tubuh.

Bula pada impetigo bulosa dan krustosa berbeda, dimana impetigo bulosa  dapat melibatkan membrane mukosa pipi, dan jarang terjadi adenopati. Pada bayi lesi dapat meluas. Sangat jarang disertai infeksi pneumonia, artritis, dan osteomyelitis.

Karateristik dan Klue Impetigo Bulosa dan Krustosa:

Impetigo Krustosa Impetigo Bulosa
1. terjadi pada 70% kasus 1. Terjadi pada 30% kasus.
2. lesi berupa krusta, menyebar secara otoinokulasi, dan khasnya adalah “Honey-Colored Crust”, krusta berwarna kuning madu. 2. ditemukan lesi bula hipopion yang mudah pecah, dan tanda Nikolsky sign (-).
3. disebabkan bakteri streptokokus dan s. aureus 3. disebabkan bakteri s. aureus
4. Predileksi lesi di wajah dan sekitar hidung 4. predileksi pada neonates dan infat di intertrigenosa.
Baca Juga:  Tinea Capitis : Infeksi Jamur di Kepala

Bagaimana Pengobatan dan Pencegahannya?

  1. Prinsip pengobatannya adalah dengan antibiotik topical, antibiotik sistemik atau kombinasi keduanya. Tujuannya adalah untuk eradikasi bakteri s. aureus dan GABHS.
  2. Antihistamin dapat diberikan untuk meringankan gejala gatal.
  3. Salep mupirosin menunjukkan terapi efektif terhadap impetigo, tetapi kadang didapatkan resisten. Alternatifnya yakni asam fusidat, dan retapamulim, sedangkan basitrasin tidak direkomendasikan karea efektifitasnya rendah dan sering menimbulkan alergi kulit.
  4. Lesi pus dan krusta hendaknya di kompres dengan riwanol 3 kali sehari selama 1 jam pada fase akut. Dan yang tidak tertutup krusta, diberikan krim mupirosin atau asam fusidat 2 kali sehari selama 7-10 hari.

Keuntungan penggunaan antibiotik topical:

  1. resiko rendah mempunyai efek samping sistemik dan reaksi obat
  2. tingginya konsentrasi antibiotik tepat dan sesuai pada area lesi
  3. menggunakan pengobatan yang minimal
  4. tidak berefek pada flora normal tubuh dan harga relatif murah
  5. mudah digunakan pada anak-anak dan pada orang yang sulit meminum obat melalui mulut

Kerugian dari pengobatan antibiotik tipikal:

  1. Kadang dapat memicu alergi dan iritasi kulit, tetapi tidak pada semua orang.
  2. menurunkan penetrasi ke area lesi
  3. berpotensi menimbulkan resistensi tinggi
  4. dapat membunuh flora normal di kulit
  5. kadang mempunyai efek toksik

Untuk pencegahannya, penderita dilarang menyentuh lesi. Penderita juga harus menghindari faktor risiko seperti trauma, dan gigitan serangga. Penderita juga dianjurkan melakukan pengobatan teratur. Penderita harus menjaga higenitas, dan menghindari lingkungan kumuh, padat penduduk, serta memberitahu bahwa infeksi dapat menular melalui muntah, pakaian dan mainan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *